BANDUNG, — Kementerian Pendidikan
Nasional mengaku kesulitan menekan jumlah siswa miskin di jenjang
pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Kepala Bagian Perencanaan dan
Penganggaran Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kemendiknas Nono Adya
Supriatno mengungkapkan, saat ini jumlah siswa miskin di Indonesia
hampir mencapai 50 juta. Jumlah tersebut terdiri dari 27,7 juta
siswa di bangku tingkat SD, 10 juta siswa tingkat SMP, dan 7 juta siswa
setingkat SMA. Dari jumlah itu, sedikitnya ada sekitar 2,7 juta siswa
tingkat SD dan 2 juta siswa setingkat SMP yang terancam putus sekolah. Menurut
Nono, biaya sekolah yang relatif mahal ditengarai menjadi penyebab
utama tidak berdayanya para siswa miskin melanjutkan pendidikan ke
tingkat selanjutnya. Kesulitan ini semakin berat dengan adanya keharusan
membayar uang pangkal, membeli buku tulis, seragam sekolah, dan buku
pelajaran. Hal-hal tersebut merupakan beberapa indikator pemicu biaya
sekolah menjadi mahal. "Siswa di SMP, hanya 23 persen yang mampu
meneruskan ke tingkat SMA. Sisanya tidak bisa meneruskan, di antaranya
ada yang terpaksa bekerja," ujar Nono ketika menjadi narasumber dalam
lokakarya "Membedah Pembiayaan Pendidikan", Sabtu (23/7/2011) di
Bandung. Pada umum, menurut Nono, para siswa miskin berasal dari
daerah rawan kemiskinan seperti daerah terpencil, pesisir pantai,
perkampungan padat penduduk, serta sejumlah tempat di daerah aliran
sungai. Untuk menekan angka tersebut, Nono mengaku sudah menganggarkan
beasiswa Rp 2,1 triliun. Adapun di tingkat SMP dianggarkan dana Rp 3,9
triliun. "Jumlah itu di luar anggaran dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang tahun ini mencapai Rp 16 triliun,” ujarnya. Memengaruhi pendidikan tinggi Dalam
kesempatan terpisah, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah
Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) Mustasfirin menyesalkan
sulitnya menekan angka siswa putus sekolah. Semakin ironis karena secara
umum tingginya angka putus sekolah di jenjang pendidikan dasar dan
pendidikan menengah berpengaruh pada jumlah siswa yang akan melanjutkan
ke bangku perkuliahan. Ia menegaskan, pendidikan menengah menjadi sangat
penting untuk menunjukkan tiga hal. Pertama, sebagai penunjang
kebangkitan kelas menengah. Kedua, sebagai pondasi pendidikan. Ketiga,
sebagai wujud realisasi pembangunan pendidikan itu sendiri. "Jadi kita sulit bicara mengenai pendidikan tinggi yang bermutu kalau pendidikan menengah tidak diperhatikan," kata Mustasfirin. Sementara
itu, Sekretaris Jenderal Dikti Kemdiknas Haris mengungkapkan, pihaknya
selalu berharap mempunyai kualitas pendidikan tinggi sekelas Amerika.
Namun, biaya pendidikan di Indonesia yang dinilainya masih sangat
murah memengaruhi mutu dan daya saing Dikti. Selain itu, biaya yang
murah juga menjadi kendala untuk maju. "Jika pakai sentimental,
saya juga ingin nangis dengan kondisi ini. Menggantung harapan menginjak
bumi. Mencerdaskan bangsa itu cita-cita dan kita bergerak ke arah sana.
Saya prihatin karena anak miskin sudah gugur di pendidikan menengah,"
tandasnya. Sehari sebelumnya, Menteri Pendidikan Nasional Mohammad
Nuh mengatakan, pendidikan yang bermutu harus ditunjang biaya yang
sesuai. Pembiayaan pendidikan yang mahal, murah, ataupun gratis bukanlah
sebuah masalah. Yang terpenting adalah tidak berimplikasi pada hak-hak
dasar. "Taruhlah wajib belajar 9 tahun, ada indikasi hak dasar.
Oleh karena itu, kementerian dan pemerintah daerah harus lebih serius
tangani hak-hak dasar. Pasalnya, jika biaya ini sampai di luar batas,
hal itu akan berimplikasi dan mulai terkait dengan hak dasar itu
sendiri," ujarnya.
|